Hoteldi Bintan; Download; Kamis, 16 Desember 2010. syair turun hujan Hujan turun membasahi bumi. Rumput yang layu hidup kembali. Cahaya terang hilang seketika. Hujan pun turun bagaikan gempa. Deras dan kuat menghacuri taman bunga. Bunga yang indah hancur ditangkai. Tanah yang ku timbun hancur berkecai. Cacing-cacing masuk kedala tanah
- Saat membaca dongeng, sering kali kita menemukan tokoh seorang bidadari yang rupawan dan memiliki sifat baik hati. Sebenarnya, siapa para bidadari itu, ya? Lalu, apa perbedaan mereka dengan para malaikat? Yuk, kita ketahui asal usul para bidadari yang sering kita baca kisahnya dalam dongeng! Asal Usul Bidadari Bidadari awalnya muncul dalam keyakinan Hindu, lo. Disebutkan bahwa para bidadari adalah para perempuan muda yang tinggal di kayangan bersama para dewa. Mereka bertugas menyampaikan apa yang diperintahkan dewa pada manusia. Bidadari diceritakan memiliki kemampuan magis atau sihir. Ia digambarkan sebagai sosok rupawan dan periang. Selain itu, bidadari disebut memiliki sayap yang membantunya terbang dari kayangan ke bumi dan sebaliknya. Baca Juga Dongeng Anak Petualangan Oki Nirmala Misteri Hilangnya Liontin Ratu Bidadari Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Kalaukamu sering membaca-baca beragam dongeng zaman dulu, pasti kamu bakalan sering menemukan cerita tentang bidadari yang memiliki paras cantik yang turun ke bumi dari kayangan. Nah, di bumi sekarang, ternyata juga hidup seorang bidadari lho. Namanya Isyana Sarasvati.
Legenda Jaka Tarub - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Cerita Rakyat Jaka Tarub Beserta Ulasannya 2021 PosKata Sejarah Legenda Jaka Tarub dan 7 Bidadari VERSI LENGKAP Karakter Bidadari-Bidadara Dalam 7 Wonders - Zetizen Cirebon Few Review 7 Wonders Summer Ballads Anglocita Perjalanan Suara Hati Tujuh Bidadari Universitas Multimedia Nusantara JAKA TARUB DAN 7 BIDADARI Tokoh Drama PDF Nama Nama 7 Bidadari Dari Kayangan SELENDANG HILANG !!! Nawang Wulan Tidak Bisa Kembali Ke Khayangan NYI RORO KIDUL - YouTube Tentang Asal-usul Dewi Nawang Wulan Istri Joko Tarub Netizen Word Bidadari dan Telaga Tumatenden Halaman 1 - ![LENGKAP] Kisah Jaka Tarub Dan Tujuh Bidadari - ASAL USUL & SEJARAH] LENGKAP] Kisah Jaka Tarub Dan Tujuh Bidadari - ASAL USUL & SEJARAH Sejarah Legenda Jaka Tarub dan 7 Bidadari VERSI LENGKAP Cara Belajar Ilmu Gaib yang Baik dan Benar Turun Bantayan Cerita Kisah Cinta Jaka Tarub dan Dewi Nawang wulan Simbol Perkawinan Jaka Tarub dan Bidadari Nawangwulan - ANTVKLIK Begini Ekspresi Gading Martin Saat Curi Baju Gisella Anastasia - ShowBiz Kisah Tentang Surga dan Godaan 7 Bidadari dalam Teks Hindu - Kisah Cerita Dewi Nawang Wulan - Tayang Senin 4 Maret 2019, ini dia sipnosis sinetron Nyi Roro Kidul Info artis, musik dan Televisi Cerita Legenda Telaga Bidadari dan Ulasan Menariknya 2021 PosKata 7 Bidadari Langit NUR ADZ DZIKRA Kisah Jaka Tarub Dan Tujuh Bidadari - Histori keturunan bidadari dan dewa suryaden Berharap Bertemu Bidadari di Curug 7 Bidadari - Ardian Nugroho √ Cerita Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari Pernikahan Jaka Tarub dan Bidadari Nawang Wulan Ebook Anak Nyi Roro Kidul - Jaka Tarub dan Nawangwulan Legenda Masyarakat Jawa dan Eksistensi Kerajaan Mataram Islam - Belajar Sejarah Jaka Tarub dan Bidadari Nawang Wulan dari Line Webtoon 7 Wonders - Pena Pendidikan Pesona 8 Seleb pemain “Langit 7 Bidadari”, bak 20 Nama Anak Bidadari Surga Dan Artinya Cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari - Dunia Lukisan JAVADESINDO Art Gallery » LUKISAN LEGENDA " 7 BIDADARI DAN JAKA TARUB " DALAM NUANSA ALIRAN BERBEDA FENOMENA ALIH WAHANA KOMIK WEB 7 WONDERS KARYA METALU UPAYA MEMASYARAKATKAN SASTRA LISAN PADA GENERASI PENERUS BANGSA Uci Elly Jaka Tarub Dan 7 Bidadari The Movie by Ipung blank Misteri dan Mitos Air Terjun Sekar Langit, Legenda Jaka Tarub dan 7 Bidadari » - Tempat Wisata Indonesia Pariwisata Indonesia Few Review 7 Wonders Summer Ballads Kelompok Siberat Mencinta Museum Kinara-Kinari - MITOLOGI PELANGI Oleh Dwi Klik Santosa PADA MUSIM MANGGASRI atau musim labuh ketiga, suatu ketika Kahyangan Suralaya kejatuhan mulad atau sinar menyilaukan dari angkasa yang berasal Sejarah Legenda Jaka Tarub dan 7 Bidadari VERSI LENGKAP Mari Mengintip Tempat Mandi Bidadari Kayangan - YouTube Karakter Bidadari-Bidadara Dalam 7 Wonders - Zetizen Cirebon Cerita Rakyat PDF 72 Nama Bidadari Surga Firdaus dalam Islam - Abiabiz NASKAH DRAMA DAn jaka ngiyub Mari Nikmati Sejuknya Air Terjun Tujuh Bidadari Anglocita Perjalanan Suara Hati Tujuh Bidadari Universitas Multimedia Nusantara Detail Cerita Rakyat Jaka Tarub Dan 7 Bidadari Myanmar Art Dance Art Celestial Berharap Bertemu Bidadari di Curug 7 Bidadari - Ardian Nugroho Penampilan Menawan Sederet Artis Cantik Tanah Air di Teater Langit 7 Bidadari, Siapa Favoritmu? - Halaman all - Saya tahu siapa sebenarnya Nyi Roro Kidul' Cerpen Nawangwulan “Purik” Halaman 3 - Seven Wonders Jaka Tarub Sapa Wisatawan Eco Green Park MalangTIMES Ikut teater Langit 7 Bidadari, tampilan Ariel Tatum bak dewi kahy Jaka Tarub & 7 Bidadari versi Barat KASKUS Nama Nama 7 Bidadari Dari Kayangan Benarkah Dewi Nawang Wulan Berasal dari Khayangan? DOC Cerita Jaka Tarub Silvi Caem - Selendang Terbang Putri Bidadari Ebook Anak FENOMENA ALIH WAHANA KOMIK WEB 7 WONDERS KARYA METALU UPAYA MEMASYARAKATKAN SASTRA LISAN PADA GENERASI PENERUS BANGSA - PDF Download Gratis Kisah Joko Tarub dan 7 Bidadari - Jaka tarub Daftar Nama Dan Biodata Lengkap Pemain Nyi Roro Kidul MNCTV 2019 Tentang Sinopsis Cerita Rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara 2021 PosKata Cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari - Curug 7 Bidadari Sumowono Kabupaten Semarang - Harian Trending Topik Legenda Tujuh Bidadari di Sumber Air Panas Desa Pencong Kabupaten Gowa - Gosulsel Begawan Ciptaning Detail 12 Cerita Rakyat Singkat Jaka Tarub And 7 Bidadari Dalam Bahasa Inggris Cerita Rakyat Dongeng Cerita Kisah Cinta Jaka Tarub dan Bidadari Nawang Wulan - FTV Misteri Ilahi Episode Jaka Tarub Dan 7 Bidadari - YouTube TRANS7 - Nawangwulan seorang bidadari dari kayangan tak bisa kembali keasal nya karena selendangnya hilang. Nawangwulan berucap akan mengabdi siapapun yang menolongnya. Jaka Tarub yang sedang berburu dihutan menolongnya dan kemudian mereka Sejarah Legenda Jaka Tarub dan 7 Bidadari VERSI LENGKAP Hidupkan Legenda Jaka Tarub Lewat Langit 7 Bidadari Ketika Sang Arjuna Tergoda 7 Bidadari - Akarasa Srambang Park Dan Legenda Jaka Tarub Cerita rakyat, Legenda, Air terjun √Tantangan Pekan 4 ODOP Batch 7 Jaka Tarub dan 7 Bidadari Milenial Pagelaran Langit 7 Bidadari Angkat Cerita Legenda Jaka Tarub Kisah Legenda Dewi Nawang Wulan dan Jaka Tarub dari Jawa Tengah – The Jombang Taste Kisah Legenda Jaka Tarub dan Bidadari di Srambang Park Ngawi Halaman all - Kahyangan & Bidadari- – Mazagus’s Weblog Kisah Lahilote dan Bidadari Kahyangan - Legenda Gorontalo - Sakolaku Ratu Laut Selatan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Lintang Kartika dan Legenda 7 Bidadari di Antariksa - Semua Halaman - Bobo Karakter Bidadari-Bidadara Dalam 7 Wonders - Zetizen Cirebon Petualangan Joko Tarub hadir dalam pentas “Langit 7 Bidadari” - ANTARA News Jaka Tarub Dan 7 Bidadari Indosiar – Belajar Tayang Senin 4 Maret 2019, ini dia sipnosis sinetron Nyi Roro Kidul Info artis, musik dan Televisi Jaka Tarub & Nawang Wulan dan Kisah-Kisah Lainnya - Nuansa Cendekia Begini Ekspresi Gading Martin Saat Curi Baju Gisella Anastasia - ShowBiz Berharap Bertemu Bidadari di Curug 7 Bidadari - Ardian Nugroho Jaka tarub NASKAH DRAMA DAn jaka ngiyub Pleiades Mitologi dan Signifikansinya dalam Budaya Jawa Taman Kayangan Bidadari Pesona 8 Seleb pemain “Langit 7 Bidadari”, bak PUSAT BAHASA Curug 7 Bidadari Sumowono Kabupaten Semarang - Harian Trending Topik Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan Bag-1 Kartika Putri Menjadi Bidadari Hingga 23 Agustus Cantiknya Ketujuh Artis Indonesia di Langit 7 Bidadari
Daripercakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. "Apakah ini arti mimpiku waktu itu?" Pikirnya dengan hati yang sangat senang. Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda-beda.
Origin is unreachable Error code 523 2023-06-14 183157 UTC What happened? The origin web server is not reachable. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Check your DNS Settings. A 523 error means that Cloudflare could not reach your host web server. The most common cause is that your DNS settings are incorrect. Please contact your hosting provider to confirm your origin IP and then make sure the correct IP is listed for your A record in your Cloudflare DNS Settings page. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d74a71a7ab10a79 • Your IP • Performance & security by Cloudflare
AlasanBidadari itu turun adalah untuk memberi selamat kepada Ken Dedes sebagai wanita yang kelak akan melahirkan dan sebagian besar di Pulau Jawa.Dongeng itu dapat dari cerita seorang kakek tua yang berhasil memiliki salah satu dari bidadari tersebut. Tapi Gajah Mada tidak percaya karena anaksi kakek sama sekali tidak ada yang berparas jelita.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. “Dahulu,” kata Poniman, seorang kakek dari tiga orang cucu, memulai ceritanya di suatu senja di beranda rumahnya yang teduh dimana dirinya dikelilingi ketiga orang cucunya. “Dulu punya dulu sekali, ada sebuah negeri bernama Negeri Kayangan. Kenapa sampai disebut Negeri Kayangan, konon katanya, negeri itu kerap didatangi oleh bidadari-bidadari dari surga.”Poniram, cucu laki-lakinya yang paling tua, menyela, “Pasti negeri itu sangat indah sekali.”“Diam kau, Poniram,” bentak sang Kakek. “Biarkan dulu Kakek bercerita sampai habis. Setelah itu, kau dan saudara-saudaramu yang lain bisa bertanya pada-atau-menanggapi cerita Kakek.”“Betul itu, Kek,” Painem, cucu perempuanya yang tertua, kakak dari Poniram, menimpali. “Poniram selalu begitu, Kek, suka menyela di antara pembicaraan orang lain. Hei kau, Poniram, kebiasaanmu itu sangat buruk dan menjengkelkan. Kau tahu tidak, itu sangat tidak sopan!”“Kalian berdua sama saja, sama-sama tidak tahu sopan santun, selalu menyela pembicaraan orang yang lebih tua dari Kalian,” kata Poniman dengan kesal yang kedua matanya melotot seakan-akan ingin melompat keluar dari tempatnya. “Mau tidak Kakek lanjutkan ceritanya?”“Mau..mau, Kek,” sahut mereka serempak.“Kalau begitu,” ujar Poniman, “Kakek tidak mau mendengar ada yang bersuara sebelum Kakek ijinkan, paham Kalian?!” Poniram dan kedua saudaranya yang lain hanya menganggukkan kepala. Melihat hal itu, Poniman tersenyum bangga dan, dagunya sedikit dinaikkan ke atas, terlihat seperti orang yang baru saja menaklukkan segerombolan anak-anak anjing liar. “Oh ya, cerita Kakek tadi sampai dimana?” Poniman memegang dagunya yang sedikit memanjang dan hitam, tampak seperti seekor anjing hitam tua. “Kakek sudah ingat sekarang,” serunya dengan mata berbinar. “Di kala senja, Kalian tidak akan sulit untuk menjumpai pelangi meluncur turun dari lengkung langit ke danau yang airnya biru, bening, untuk membersihkan tubuhnya yang kotor agar warna-warni tubuhnya semakin bersih dan terang. Saking beningnya air danau itu, dasarnya dapat Kalian lihat dari permukaannya yang tinggi. Seringkali juga bidadari-bidadari turun dari Surga, mandi dan mencuci selendangnya. Bahkan beberapa rakyat Negeri Kayangan itu sempat mendengarkan pembicaraan di antara para bidadari-bidadari itu, katanya, Negeri Kayangan lebih indah dan cantik daripada Surga,”Poniman bercerita dengan penuh semangat membuat nafas tuanya terengah-engah. Ia mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan lagi, “Ketika malaikat-malaikat turun dari langit, dan telah melihat keindahan dan kecantikan alam Negeri Kayangan, juga rakyatnya yang ramah, para malaikat itu enggan untuk kembali naik ke langit. Ini juga, konon katanya, Negeri Kayangan lebih damai dan tenang daripada Surga.” Poniman bertutur dengan lancarnya. Sementara ketiga orang cucunya yang duduk di atas lantai bersila kaki dalam terpaan sinar lampu pijar, terlihat bagaikan sekumpulan anak-anak kelinci berbulu kuning keemasan, sangat menikmati dan terpesona. Poniram tampak bego dalam siraman sinar lampu pijar, bibir mulutnya membulat seperti seekor ikan koki atau ikan mas yang kepalanya menyembul di atas permukaan air kolam untuk menghirup udara cucu Poniman yang ketiga, adik dari Painem dan Poniram, yang sedari tadi hanya diam dan mengamati gerak bibir kakeknya yang bergerak tanpa henti, bagaikan paruh bebek jantan tua yang sedang menggoda bebek betina muda, berujar, “Kek,” panggilnya, “betapa indah dan damainya negeri itu. Kek, kita pindah saja ke Negeri Kayangan itu, aku sudah bosan tinggal di negeri ini. Di negeri ini sudah terlalu banyak preman-premannya—ada preman berdasi; ada juga preman hukum; bahkan mereka sesama preman itu sering berantem kayak anak kecil seperti yang sering Paijo lihat di televisi, Kek.” Paijo yang berumur tujuh tahun berujar polos.“Paijo..Paijo,” kata Poniram, “di mana ada negeri seindah dan sedamai Negeri Kayangan di jaman sekarang. Ada-ada saja pikiranmu itu. Kalau kau sudah mengantuk, pergi sana tidur. Mengganggu saja kau!”Terdengar dengus berat nafas Poniman melihat sikap kedua cucu lelakinya itu. “Kau, Poniram,” serunya,“tidak ada yang salah dengan pikiran Paijo. Dia hanya bermimpi, dan semua orang berhak untuk memiliki mimpi. Sepertinya, kau tidak mempunyai mimpi meskipun itu hanya di dalam tidurmu sekalipun. Bagaimana mungkin kau akan menjadi orang besar bila tidak memiliki mimpi?” Paijo merasa besar kepala ketika mendengar perkataan kakeknya yang membelanya, lalu dijulurkan lidahnya ke arah Poniram. Melihat ejekkan Paijo, ia mengepalkan tangan dengan geram. Sinar matanya yang awalnya hijau dalam terpaan cahaya lampu pijar yang redup dan muram, berubah menjadi merah, berkelebat dalam sinar yang redup dan muram itu, seakan-akan mata Poniram mengeluarkan darah atau api. “Kalian masih ingin mendengarkan cerita selanjutnya?” Ketiga bocah yang tampak seperti anak-anak kelinci berbulu kuning keemasan dalam cahaya lampu pijar yang tergantung di langit-langit rumah tepat di atas kepala meraka, menganggukkan kepala secara bersamaan.“Negeri Kayangan,” Poniman melanjutkan ceritanya, “seperti seorang gadis jelita yang kecantikkannya menggoda setiap mata lelaki yang memandangnya. Kekayaan alamnya tidak terkira. Tanahnya sangat subur—sampai-sampai ada pepatah berkata tongkat pun menjadi tanaman’; ikan-ikan dan udang dengan sendirinya datang menghampiri jaring nelayan.” Saking bersemangatnya Poniman bercerita, percikkan air ludahnya terbang di udara, berkilau dalam temaram lampu pijar 25 watt yang tergantung lesu di atas kepala mereka sebelum jatuh di atas kepala dan mengenai wajah ketiga cucunya, sebagiannya lagi jatuh ke atas lantai yang hanya dihaluskan tanpa keramik. “Kehidupan rakyat Negeri Kayangan serba berkecukupan—makanan ada tanpa kekurangan; pakaian yang mereka kenakan tidak menunjukkan kekayaan melimpah tetapi tidak juga terlalu menampakkan kemiskinan yang suram; rumah yang mereka miliki meski tidak terbuat dari batu bata merah, tapi setidaknya cukup memberi perlindungan dari hujan dan panas. Tak ada yang jadi pengemis seperti negeri ini yang penduduknya berkeliaran di jalan-jalan seperti anjing liar mengais di tempat sampah; rumah-rumah mereka terbuat dari kertas-kertas bekas atau dari karung plastik bekas seadaanya di bawah kolong-kolong jembatan, di pinggiran kali, di samping rel-rel kereta api.” Poniman berhenti sejenak sambil punggung tangannya mengelap buih-buih air ludahnya yang berkumpul di sudut bibirnya. “Jiwa-jiwa penduduk Negeri Kayangan begitu polos; pikiran mereka bersih jauh dari kelicikan dan keserakahan; penuh tenggang rasa—saling menghargai dan menghormati, saling membantu, sampai datangnya Raksasa-Raksasa Putih yang entah dari negeri mana mereka berasal, mengacaukan segalanya.” Poniman berhenti sejenak mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Karena tak sabar mendengar ceritan selanjutnya, ketiga cucunya berujar secara bersamaan tanpa memperdulikan Poniman, kakek mereka yang kesulitan bernafas, “Teruskan ceritanya, Kek!”Setelah merasa bahwa nafasnya sudah cukup teratur, Poniman melanjutkan ceritanya, “Untuk mengambil hati rakyat Negeri Kayangan, Raksasa-Raksasa Putih itu meracuni pikiran dan jiwa mereka. Raksasa-Raksasa Putih itu menggoda pikiran mereka dengan kekayaan yang melimpah; mempunyai rumah berdinding beton—bukan dinding dari anyaman bambu; mempunyai pakaian yang bagus dan mewah; memiliki sawah dan ladang yang luas; ternak-ternak yang berpuluh bahkan beratus ekor banyaknya.” Mata lelaki tua menatap ke langit-langit rumahnya, menerawang jauh sambil memeras otaknya untuk mengingat kelanjutan cerita itu. Sementara ketiga orang cucunya duduk dengan gelisah, tidak sabar menunggu kakek mereka melanjutkan cerita yang tampaknya semakin menarik di telinga mereka. “Ada beberapa rakyat Negeri Kayangan yang terpengaruh bujukan itu,” lanjut Poniman sambil memperbaiki letak duduknya, “tidak sedikit juga dari mereka yang tidak tergoda dengan bujukan itu. Mereka tidak mau termakan hasutan Raksasa-Raksasa Putih itu. Mereka yang tidak mengikuti rayuan itu, hidup seperti biasanya; bagi yang mengikutinya, memang pada awalnya terlihat begitu makmur hidupnya dengan harta yang melimpah. Namun, hidup mereka berakhir dengan kematian mereka yang sia-sia.” Poniman menyeka air matanya yang membasahi pipinya dengan jari-jarinya yang kulitnya tampak keriput dengan bintik-bintik hitam terlihat di beberapa titik, seolah matanya melihat sendiri kematian itu, lalu berkata, “Setelah tujuan dari Raksas-Raksasa Putih itu tercapai—menguasai Negeri Kayangan—mereka yang termakan bujuk rayu itu, dibunuh satu per satu.”“Sungguh licik Raksasa-Raksasa Putih itu!” ujar Paijo.“Bedebah!” Poniram ikut-ikutan mengumpat. “Kalau aku hidup pada saat itu, akan kubunuh Setan-Setan Putih itu!” Terdengar suara giginya bergeretak karena menahan amarahnya yang tertahan di dada.“Betul itu, Poniram!” Painem menimpali, ketus. “Aku sama denganmu. Kalau aku hidup di masa itu, akan kucincang-cincang tubuh Raksasa-Raksasa Putih itu, lalu potongan-potongan tubuh mereka, aku berikan pada anjing-anjing helder milik Ko Tek San, tetangga kita, sebagai santapan malam mereka.”Mendengar ucapan ketiga cucunya, Poniman terkekeh-kekeh sampai tubuh rentanya terguncang hebat. Melihat kakek mereka tertawa, ketiga cucunya menunjukkan wajah keheranan dan rasa ketidaksenangan. Mereka tampak seperti monyet-monyet kecil yang bulu-bulu hitamnya mengilat di bawah sinar lampu pijar—seolah bulu-bulu itu baru saja diolesi minyak makan bekas. “Hei, Kalian, monyet-monyet kecilku,” serunya, “Kakek yakin, ketika Kalian hidup pada saat itu, Kalian akan lari tunggang langgang bagaikan menjangan yang liar; atau Kalian meringkuk di bawah kolong tempat tidur seperti seekor tikus hitam yang ketakutan karena dikejar para pemburu.” Lalu, kakek renta itu kembali tertawa, yang kali ini suaranya lebih keras dari yang pertama, membuat seekor cicak yang menggantung di langit-langit rumah, yang seolah-olah keempat kakinya memiliki lem, mendongakkan kepalanya yang kecil, ujung ekornya pun terangkat menegang, menatap ke arah Poniman dengan penuh kebencian, hampir saja ia terjatuh karena terkejut. “Sudah...sudah, mendingan Kalian diam saja mendengarkan Kakek bercerita.” Tangan tuanya mengayun di udara seolah mengusir nyamuk-nyamuk yang berputar-putar di atas kepala mengeluarkan suara berdengung menjengkelkan. “Kalian masih mau kan mendengar kelanjutan ceritanya?” tanyanya, yang disambut anggukkan kepala ketiga monyet kecilnya.“Menyusul kedatangan Raksasa-Raksasa Putih itu, adalah Mahluk-Mahluk Pendek; mereka semua telah menguasai tanah Negeri Kayangan. Karena mental dan moral dari penduduk Negeri Kayangan sangat labil—mudah terpengaruh, dan serakah, maka seiring perjalanan waktu, ada beberapa dari mereka mendirikan kelompok penyamun—gemar merampok harta milik penduduk negeri, bahkan isi kekayaan alam Negeri Kayangan dikurasnya sampai habis; ada juga kelompok penjual keadilan—demi uang dan keserakahan mereka, kebenaran dapat ditukar dengan kesalahan.” “Dasar manusia-manusia rendahan!” Umpat Painem.“Orang-orang yang tidak bermoral dan bermartabat!” Maki poniram.“Seharus mereka itu dipancung kayak Ruyati itu,” ujar Paijo yang menimpali ucapan kedua kakaknya.“Betul itu, Cu!” sahut Poniman dengan mimik wajah serius dan menegang. Ada gurat-gurat kemarahan dan kebencian di garis wajahnya yang keriput. “Kakek sangat setuju bila manusia-manusia rendahan itu—orang-orang yang tidak bermoral dan bermartabat itu dipancung; setidaknya dihukum mati dengan cara ditembak; atau dibinasakan di atas kursi yang dialiri listrik yang bertegangan tinggi.” Untuk sesaat suasana menjadi hening. Di atas sana, di langit, bulan baru menunjukkan sepenggal wajahnya. Bintang-bintang yang duduk di sekitarnya menggoda dengan kerlap-kerlip cahayanya. Beberapa ekor kelelawar terbang rendah yang diiring nyanyian jangkrik di bawah rerumputan, dan katak yang duduk di atas teratai di sebuah kolam. Suara-suara mereka membentuk simfoni alam yang menyenangkan. Bau rerumputan yang menyegarkan naik ke udara, dalam tiupan angin malam yang dingin, aromanya sampai ke hidung mereka—Poniman dengan ketiga cucunya.“Lalu, bagaimana ceritanya selanjutnya, Kek?” tanya Painem dengan penasaran.“Iya, Kek, aku sudah tidak sabar ingin mengetahui akhir ceritanya,” Poniram menimpali. Sementara Paijo hanya memandang ke wajah kakeknya, dan menunggu reaksi orang tua itu yang uban di kepalanya berwarna kelabu dalam limpahan cahaya kuning keemasan lampu pijar. Poniman di dalam desakan kedua cucunya itu, hanya memainkan tongkatnya dengan cara diketuk-ketukkan ujung tongkat bawahnya ke lantai. Suara ketukkan tongkatnya mengundang seekor kucing yang warna kulitnya perpaduan antara warna kuning dan putih, datang menghampiri, dan duduk di dekat kursi Poniman. Itu Betsy, kucing kesayangannya. Nama Betsy diambil dari nama noni Belanda yang pernah menjadi pacar Poniman di masa pendudukan Jepang, sebelum ia bertemu dan menikah dengan Satiyem. Lalu, Poniman terkenang dengan masa-masa itu.************Dulu, Poniman terkenal sebagai jagoan di kampungnya. Ilmu silatnya sangat tinggi. Ia mahir memainkan golok. Suatu malam, di bawah sinar bulan bulat penuh, di dalam keheningan yang sunyi, ia menanngkap teriakan seorang perempuan yang meminta tolong. Suara itu datangnya dari arah tenggara dari tempatnya berdiri. Karena merasa sebagai seorang jagoan yang memiliki jiwa kesatria, Poniman bergegas berlari dalam bayangan kegelapan malam, menembus kabut-kabut tipis yang mulai naik dari permukaan tanah. Larinya secepat angin bertiup, melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Suara itu semakin keras terdengar, tepatnya menjerit. Namun, jeritan itu sangat memelas; memilukan bagi telinga Poniman. Ketika ia sampai di tempat di mana sumber jeritan itu berasal, dilihatnya seorang gadis berambut pirang terbaring di atas tanah dikelilingi lima orang lelaki yang berwajah garang dan menyeramkan. Dari wajahnya mereka dapat disimpulkan bahwa mereka segerombolan begundal. Dengan baju yang kancing-kancingnya telah terlepas dan bajunya yang tersingkap, memperlihatkan kulit tubuhnya yang putih dan mulus, dan juga payudaranya yang padat, gadis pirang itu dalam tindihan salah seorang para begundal itu, yang wajahnya ada bekas luka yang memanjang di pipi kiri di bawah matanya, tanpa daya. Melihat pemandangan yang tidak sepantasnya diterima seorang perempuan, darah Poniman mendidih, seolah-olah uap putih keluar dari pori-pori kulit dan kepalanya. “Hei, Kalian, manusia-manusia sampah, apa yang Kalian lakukan pada perempuan itu? Lepaskan dia bila Kalian masih menyayangi nyawa Kalian yang hanya setipis benang itu. Kalau Kalian tidak mau, maka akan kukirim nyawa Kalian ke Neraka!” serunya dengan lantang. Mendengar teriakan yang menggelegar bagaikan halilintar yang seolah-olah ingin merontokkan daun-daun dari dahannya, di belakang punggung mereka, para begundal itu membalikkan badan mereka. Melihat yang datang seorang pemuda bertubuh kurus dengan sebuah golok agak pendek yang terselip di pinggangnya, para begundal itu terbahak-bahak. “Kawan-kawan,” seru salah seorang begundal yang mulutnya bengkok pada teman-temannya, “kita kedatangan tamu. Kalian dengar apa yang barusan dikatakan pemuda kurus itu, dia akan mengirim nyawa-nyawa kita ke Neraka. Tapi, aku ragu apakah dia mampu melakukan hal itu. Lihatlah tubuhnya tidak lebih tebal dari selembar papan. Rasanya tidak baik bila kita tidak meladeni permintaanya. Jadi, tinggalkan dulu kegembiraan kita. Mari kita bermain-main sebentar dengannya.”Hawa kematian menggantung di udara di malam yang sunyi. Cahaya bulan bulat penuh membentuk enam bayangan-bayangan hitam yang bergerak-gerak di atas tanah. Poniman mencabut goloknya dari sarungnya yang terselip di pinggangnya. Kelima begundal itu melakukan hal yang sama. Golok dan pedang berkilau dalam terpaan sinar bulan. Dalam sekejap, golok dan pedang berkelebat di udara yang dingin. Suara benturan dari golok dan pedang itu menimbulkan suara yang berdenting. Dentingannya sangat nyaring, seolah memberi kabar pada langit tentang kematian yang sebentar lagi akan terjadi. Beberapa ekor katak melompat menjauh dari tempat pertempuran itu, sementara keenam tubuh terlihat seperti bayangan hitam, melesat di udara malam. Tak jauh dari tempat pertempuran, gadis pirang itu duduk di atas kedua kakinya yang ditekuk. Ia menutupi tubuhnya seadaanya, dengan menyilangkan kedua tangannya di dadanya, karena semua kancing-kancing bajunya telah terlepas. Hanya dalam beberapa jurus, kelima begundal itu bertumbangan di atas tanah; satu di antara begundal itu, dadanya robek; yang satunya lagi,perutnya terburai; lainnya kepalanya hampir terpisah dari badannya; sisanya, seluruh tubuhnya penuh sabetan golok. Awalnya tempat pertempuran itu hijau dengan rumput-rumput, kini berubah merah. Genangan darah kental terlihat berceceran di atas rumput-rumput di berbagi titik. Gadis pirang itu menyaksikan pertempuran dari kejauhan, terkesimak dengan kehebatan Poniman. Dalam benak gadis pirang itu berpikir, entah bagaimana jadinya dengan dirinya bila tanpa Poniman. Gadis itu berdiri, melangkah menghampiri Poniman yang tampak gagah di bawah sinar bulan, tangannya terulur yang disambut oleh Poniman, dan berucap, “Terima kasih atas pertolongannya. Bila tanpa bantuanmu, entah apa yang terjadi pada diriku.” Tangan gadis pirang itu bergetar dalarm genggaman tangan Poniman. Kepalanya tertunduk ketika mata elang Poniman menghujam wajahnya, menatap tajam ke mata gadis pirang itu. Dengan masih kepala tertunduk, ia berujar, “Aku, Betsy. Kamu?” “Poniman.” Sejak peristiwa yang mengerikan dan memalukan di malam itu, Betsy dan Poniman sering bertemu. Kedua insan itu saling mengagumi satu sama lain. Getar-getar nada cinta mulai mengalun di hati dan jiwa mereka. Benih cinta mereka pupuk dengan segala perbedaan yang ada di antara mereka. Bau busuk dari jejak-jejak hubungan mereka di dalam perbedaan, aromanya bergulung-gulung di udara dan, angin mengantarkan pada hidung ayah Betsy. Mengetahui anak gadisnya berhubungan dengan jagoan kampung, pribumi yang rendahan, membuat ayah Betsy berang bukan main. Wajahnya memerah bagaikan panggangan daging yang baru keluar tempat pemanggangan. Untuk menghentikan dan memutuskan benang merah dari hubungan yang terlarang yang telah merendahkan derajatnya sebagai orang Nederland, ayah Betsy akan memulangkan anak gadisnya ke Negeri sudah beberapa malam Betsy tidak pernah lagi datang di tempat di mana mereka biasa bertemu, membuat Poniman ingin mengetahui penyebabnya. Dengan tekad sekeras baja, dan semangat semerah bara, di bawah cahaya temaram bulan berwarna kuning keemasan dalam balutan kabut tipis yang menguap dari permukaan tanah, Poniman mengendap-endap di antara bunga-bunga yang daunnya basah oleh embun malam, tampak seperti seekor monyet hitam berbulu hitam pekat; kalau bukan seekor monyet, pastilah seekor simpanse Afrika; dan kalau bukan seekor simpanse Afrika paling tidak seekor orang utan Kalimantan. Poniman mendekati jendela kamar Betsy bertirai satin China dengan ukiran rumit, yang malam ini jendela itu dibiarkan terbuka sehingga angin dingin di bulan Agustus menelusup masuk ke dalam kamar Betsy. Hawa dingin dan bau rerumputan yang menyegarkan segera memenuhi ruangan itu. Di bawah jendela kamar Betsy, dan masih sama seperti seekor monyet yang ketakutan, Poniman menyeru, “Betsy!” panggilnya. Suaranya terdengar berdesir. Karena yang dipanggilnya belum juga datang, sekali lagi ia berseru dengan suara yang gemetar, “Betsy!” serunya. “Ini aku, Poniman!” Mendengar namanya dipanggil oleh suara dari orang yang dirindukan, yang terdengar di telinganya seperti dengungan kepak sayap seekor nyamuk, Betsy segera menghampiri jendela kamarnya yang terbuka. Di bawah jendela itu, dilihatnya wajahnya Poniman yang mendongak ke atas, serupa orang utan Kalimantan di bawah cahaya bulan yang bercampur dengan sinar lampu dari kamarnya. Poniman melompat-lompat layaknya seekor anak orang utan dengan tangannya bergerak-gerak ke atas di udara yang dingin. “Betsy,” seru Poniman dari bawah jendela kamar Betsy. “Sudah beberapa malam ini aku menunggu kedatanganmu di tempat biasa kita bertemu, tapi kau tak juga datang. Ada apa dengan dirimu?”“Hubungan kita telah diketahui Ayahku,” ujarnya. “Makanya aku dilarang keluar, dan dikurung di dalam kamar.”“Kau kan bisa keluar dengan menggunakan tangga.”“Aku takut!”“Takut pada apa? Pada siapa?”“Takut pada ancaman Ayahku. Ayahku mengancam, bila aku masih berhubungan denganmu, maka Ayahku akan menyuruh orang-orang suruhannya untuk membunuhmu. Aku tidak ingin kau mati, Poniman!” Kata Betsy dengan terisak. Air matanya berlinang bagaikan pancuran air yang mengalir deras ke bawah, dan jatuh ke sungai atau kolam.“Tidak ada yang mampu menyentuh kulitku. Apalagi sampai merontokkan sehelai bulu dari tubuhku.” Ujar Poniman dengan membusungkan dadanya yang setipis papan. “Aku tahu kau hebat, Poniman, ” kata Betsy, “namun, aku tetap tidak ingin ada sesuatu menimpamu atau menimpa orang lain. Aku tahu, cinta itu butuh pengorbanan, tapi bukan berarti harus menjadi korban yang sia-sia dari cinta itu sendiri.” Suara Betsy terdengar parau di antara isaknya. Rambut panjang pirangnya melambai-lambai dalam terpaan angin malam. “Lupakan aku, Poniman.”“Apa?” sahut Poniman. “Melupakanmu? Tidak! Itu tidak akan aku lakukan.”“Kenapa?”“Aku mencintaimu!”“Poniman,” ujar Betsy lembut. Kini suaranya sedikit kembali normal, tangisnya pun mulai mereda. “Dapatkah kau menyatukan dua hati yang terpisah jarak ribuan mil jauhnya dengan segala perbedaan yang menghiasi? Dengarkan aku, malam ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Besok pagi aku akan pulang ke Belanda. Ayahku memulangkan aku, dan akan menikahkan aku dengan seorang pria Belanda di sana.” Saat mengucapkan kata-kata itu, gelombang perasaan yang bercampur aduk memenuhi hatinya. Apakah ia harus senang atau sedih? Entahlah. Mendengar ucapan Betsy, kekasihnya, Poniman tertegun lemas dalam diam di bawah terpaan cahaya bulan. Angin dingin bertiup memainkan daun-daun dan rerumputan. Perasaannya seolah-olah dipermainkan angin dingin di malam itu. Sungguh kejam sebuah perbedaan. Betapa mahalnya sebuah derajat. Apakah cinta harus diukur dengan kesamaan dan derajat?, pikirnya. Kabut-kabut tipis melayang-layang di udara dingin. Jangkrik dan katak berlomba memamerkan kemerduan suara mereka dalam sebuah simfoni malam. Ilalang dan daun-daun bergoyang mengikuti irama simfoni itu. Sementara cahaya kekuningan bulan menari-nari dalam kabut. Poniman berjalan goyah menembus kabut yang sedikit mulai menebal. Ia pulang sama seperti ketika ia datang. Ia mengendap-endap bagaikan anak kelinci yang mencoba mencuri wortel petani. Yang tampak beda hanya pada langkahnya. Saat melangkah pulang, langkahnya terlihat gontai bagaikan batang-batang pohon willow yang dimainkan angin. Dalam kepedihan yang mendalam, Poniman berjalan meninggalkan Betsy yang masih berdiri di balik jendela kamarnya. Wajahnya yang cantik berkilau dalam terpaan cahaya bulan yang tergantung lesu di langit seakan mengerti perasaan kedua insan itu. Sampai sebuah tepukan halus pada lututnya mengangetkan Poniman dari lamunannya. “Kek,” seru Paijo, “bagaiamana cerita selanjutnya?” Dengan gelegapan Poniman memperbaiki letak duduknya, dan menyapu air mata di sudut mata tuanya dengan punggung tangannya yang keriput.************“Kelompok-kelompok penyamun, kelompok-kelompok penjual keadilan bersama sekelompok orang yang memiliki hati bersih,” Poniman melanjutkan cerita setelah tersadar dari lamunannya, “pada awalnya mereka bahu membahu mengusir Raksasa-Raksasa Putih dan Mahluk-Mahluk Pendek. Mula-mulanya, Raksasa-Raksasa Putih berhasil mereka kalahkan—meski belum berhasil mereka usir keluar dari Negeri Kayangan. Dengan masih adanya Raksasa-Raksasa Putih di Negeri Kayangan, tiba-tiba Mahluk-Mahluk Pendek datang dengan alasan sebagai negeri tetangga—bahkan mengaku sebagai saudara tua Negeri Kayangan, ingin membantu mengusir Raksasa-Raksasa Putih itu agar secepatnya keluar dari Negeri Kayangan.” Poniman berhenti sejenak. Matanya menyapu wajah ketiga orang cucunya dengan tatapan teduhnya, garis-garis ketegangan tampak di wajah mereka dengan bola mata mereka melompat-lompat di tempatnya. Kini, wajah ketiga orang cucunya, mirip dengan monyet-monyet sirkus. “Kehadiran Mahluk-Mahluk Pendek bukannya membantu malah menambah penderitaan rakyat Negeri Kayangan. Hanya dalam waktu yang singkat, Mahluk-Mahluk Pendek meninggalkan penderitaan yang sulit terlupakan—bahkan dalam tujuh turunan pun masih membekas di kulit jiwa rakyat Negeri Kayangan.” Nada suara Poniman terdengar mengecil ketika mengucapkan kalimat terakhir. Ada irama kesedihan menggantung di sana. Ia teringat sebuah peristiwa yang dengan mata elangnya menyaksikan sendiri kejadian itu. Seorang perempuan muda dipaksa menjadi wanita pemuas nafsu bagi serdadu-serdadu Mahluk-Mahluk Pendek. Perempuan muda diambil dengan paksa dari pelukkan ibunya; diseret dan dinaikkan ke atas kendaraan yang bau kematian menguap dari bak yang terbuat dari kayu-kayu yang diberi warna hijau lumut. Bahkan mungkin air mata dan lendir dari perempuan-perempuan muda lainnya yang pernah diangkutnya, masih membekas pada bak kayu kendaraan itu.“Sungguh kejam Mahluk-Mahluk Pendek itu!” ujar dengan ucapan Painem, “Apa mereka tidak punya saudara perempuan? Bagaimana perasaannya bila saudara perempuan dibuat seperti itu?”“Dasar Setan-Setan Pendek! Awas Kalian, bila aku berjumpa Kalian, akan kubunuh Kalian semua!” sahut Poniram geram. Poniman menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap dan ulah ketiga orang cucunya. “Sudah..sudah! Hentikan ocehan Kalian! Lebih baik Kalian dengar lanjutan ceritanya.”“Masa-masa sulit itu berlalu begitu pelan,” kata Poniman. “Banyak air mata mengalir dari mata yang sudah lama mati. Bila ada mata yang berkedip lincah—itu kedipan mata yang kemasukkan debu—bukan karena senang dan gembira. Kepedihan menyebar ke mana-mana. Bau kematian menggantung di setiap halaman rumah rakyat Negeri Kayangan. Tangis bayi terdengar bukan lagi sebagai tangisan, tapi lolongan anjing-anjing malam. Bahkan matahari pun enggan untuk duduk di atas puncak gunung-gunung dan bukit-bukit yang hijau di Negeri Kayangan.” Untuk kesekian kalinya Poniman harus berhenti sejenak untuk mengatur irama nafas tuanya yang terengah-engah. “Sampai pada di suatu kesempatan di mana perjuangan terus berlanjut untuk membebaskan Negeri Kayangan dari cengkeraman Raksasa-Raksasa Putih dan Mahluk-Mahluk Pendek, seorang pemuda yang tegas dan teguh pada prinsipnya dari sekelompok pemuda yang berjuang tanpa henti, mengumumkan kebebasan Negeri Kayangan dari cengkeraman Mahluk-Mahluk Pendek setelah di negeri mereka terjadi bencana kemanusiaan yang akan selalu diingat oleh setiap generasi bangsa itu.”“Sungguh hebat pemuda itu, Kek!” ujar Paijo. “Aku pengen seperti pemuda itu, kelak ketika aku besar nanti.”“Jo...Jo,” sahut Poniram. “Kau mimpi atau melindur? Baca saja masih terbata-bata, sudah bermimpi jadi orang hebat. Sana, berkaca, lihat wajahmu apa pantas jadi orang hebat. Dasar monyet hutan!” Painem yang duduk tak jauh dari kedua adiknya hanya diam. Ia tenggelam dalam khayalannya. Menjadi istri seorang pemuda hebat, pasti sangat menyenangkan. Pasti si Sakiyem, si Darsim, si Sarinem; atau teman-teman lainnya iri melihat aku, pikirnya. “Hei, Poniram!” seru Poniman, “Kakek pikir, ada yang salah dengan otakmu. Tahukah kau, dari mimpi seseorang baru bisa menjadi besar dan hebat. Paijo memiliki mimpi; mimpi itu kelak membawa Paijo menjadi orang hebat, tidak seperti kau, yang otakmu seperti otak keledai. Parahnya lagi kau tidak punya mimpi sedikitpun. Jadi, yang monyet hutan itu, kau, bukan Paijo.” Tanpa memperdulikan wajah Poniram yang memerah dan tertunduk lesu dan menggantung di atas dadanya, Poniman melanjutkan ceritanya yang sempat terputus oleh ulah dua monyet sirkus kecilnya, yang lebih mirip anak-anak kelinci berkulit kuning keemasan di bawah sinar lampu pijar. “Setelah kebebasan yang dialami Negeri Kayangan, rakyatnya merasa gembira. Mereka tidak perlu takut lagi pada Raksasa-Raksasa Putih dan Mahluk-Mahluk Pendek yang lebih mirip seperti setan-setan pendek berkulit bersih. Si Pemuda Pemberani itu bersama seorang kawannya diangkat menjadi pemimpin oleh teman-temannya yang lain. Meski sudah bebas dan dipimpim oleh seseorang yang hebat, bencana dan penderitaan rakyat Negeri Kayangan tidak berhenti sampai di situ.”“Kog bisa, Kek?” kata Paijo, “kan sudah bebas, masa masih menderita lagi sih, Kek?” “Makanya kau dengarkan dulu cerita Kakek,” jawab Poniman. “Bencana ini tidak ada bedanya dengan pada masa Negeri Kayangan dikuasai Raksasa-Raksasa Putih dan Mahluk-Mahluk Pendek. Bedanya, kalau dulu orang-orang dari luar Negeri Kayangan yang membuat mereka menderita, tapi kini, orang-orang Negeri Kayangan sendiri yang membuat rakyat negeri itu menderita. Keadaan makin parah ketika si Naga Hitam, pemimpin Kelompok Penyamun, merampas kekuasaan dari si Pemuda Pemberani.” Poniman memperbaiki lagi letak duduknya. Tongkat di tangan kanannya di ketuk-ketukan lagi ke lantai. Betsy menghampirinya dan mengelus-elus tubuhnya di kaki Poniman. “Naga Hitam menjadikan dirinya penguasa langit dan bumi Negeri Kayangan. Tidak ada yang luput dari pengamatan matanya. Sungutnya menjadi peringatan bagi orang-orang yang mencoba melawan dan menentangnya. Bila ada orang yang masih nekad melawan dan menentangnya, maka orang itu akan mati dalam semburan api yang keluar dari mulutnya yang serupa nereka kehidupan. Naga Hitam memiliki beberapa orang anak; Naga Merah—penghisap darah penduduk Negeri Kayangan; Naga Kuning—suka memotong kaki penduduk; Naga Hijau—hampir semua hutan dikuasainya; Naga Biru—laut dan segenap isinya dalam kekuasaannya; lalu, ada Naga Coklat, dan terakhir Naga Abu-abu. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Naga Hitam mempunyai pengikuti setia; ada Kelinci Putih; Macam Berkulit Badak; Kambing—ini hanya tahu me-ngebe; Sapi Bego—kegemarannya suka kentut. Setelah mengeluarkan kentut yang bau, dia berlalu begitu saja; Kerbau Tolol; yang paling banyak Tikus-Tikus Hitam—yang ini sering main di selokan yang bau dan kotor—tersebar di hampiri seluruh wilayah Negeri Kayangan.”“Kog, anak dan pengikutnya nama binatang semua, Kek?” tanya Paijo dengan keheranan. Wajahnya berkilau dalam terpaan sinar lampu pijar, tampak seperti seekor anak ayam yang baru menetas, dan keluar dari cangkang telurnya.“Karena mereka semua takada bedanya dengan binatang,” sahut Poniman dengan kegeramannya. Keriput wajahnya menegang. Urat-urat di wajahnya tampak menonjol. Di bawah cahaya bulan yang mulai menyelimuti bumi, dan sebagian cahayanya masuk ke beranda rumah Poniman, dalam siraman cahaya bulan itu, wajah Poniman tampak seperti seekor Harimau Sumatera. Bibir dan lehernya berkedut. Matanya menyala merah seolah bara api menyala di dalamnya. “Mereka semua sudah tidak punya nurani lagi. Hampir semua kekayaan alam Negeri Kayangan menjadi milik keluarga dan teman-temannya, juga pengikutnya. Mereka semua seolah-olah tidur di atas tumpukan uang. Sementara rakyat Negeri Kayangan miskin dan menderita. Bagi yang miskin, hidup di Negeri Kayangan bagaikan bernafas dalam lumpur. Di Negeri Kayangan, hidup dan mati tak bedanya bagi mereka yang tidak mempunyai uang. Tetapi, bagi mereka yang memiliki uang melimpah, Negeri Kayangan adalah surganya surga.” “Betapa rakusnya si Naga Hitam itu, Kek?” kata Poniram, yang kali ini berucap dengan sedikit lebih sejuk terdengar di telingan Poniman. “Si miskin tambah miskin; yang kaya tambah membunting perutnya,” kata Painem.“Kalian tahu tidak,” seru Poniman yang disambut dengan gelengan kepala ketiga orang cucunya secara bersamaan dengan mimik wajah terlihat tolol. “Sejak Naga Hitam berkuasa memang pembangunan terjadi di mana-mana, namun, itu tidak memberi arti yang banyak bagi rakyat Negeri Kayangan. Harga beras lebih mahal dari mutiara; harga sayur mayur lebih mahal dari emas; harga minyak bakar lebih mahal dari berlian; dan pendidikan hanya bisa terjangkau oleh anak-anak orang yang memiliki uang, yang tidak memiliki uang, mereka cukup berdiri di luar pagar sekolah.”“Seperti yang terjadi pada Sukinem, sahabatku,” kata Painem, menyela di tengah cerita yang mengalir semakin menarik di telinga ketiga cucu Poniman, “ia tidak dapat bersekolah karena orang tuanya hanya petani miskin. Dan, kini ibunya, kata orang, menjadi anjing di negeri tetangga. Aku tidak mengerti dengan kata-kata itu. Makanya aku benci dengan pemimpin negeri ini, kerjanya cuma korupsi saja. Kasihan si Sukinem!”“Persis seperti yang menimpa Parno,” ujar Poniram. “Awalnya dia bersekolah juga, karena ayahnya seorang pemulung, dan tidak bisa lagi membiayai sekolahnya, akhirnya Parno berhenti bersekolah, yang kini ikiu-ikutan ayahnya menjadi pemulung. Negeri ini seperti nereka bagi orang-orang miskin.” Paijo yang masih belum terlalu mengerti hanya diam saja. Memandang kakak-kakaknya dan kakeknya silih berganti.“Bagi pemerintah Naga Hitam, dan mungkin bagi pemerinta-pemerinta selanjutnya,” Poniman mulai lagi melanjutkan ceritanya, “mengirimkan rakyat Negeri Kayangan ke negeri tetangga atau negeri yang lebih jauh lagi—yang di sana mereka tak ubahnya seperti anjing-anjing liar mengais di sampah-sampah—menjadi kebanggaan yang mengharumkan. Akhirnya Negeri Kayangan terkenal dengan sebutan pengekspor manusia. Ini sangat menyedihkan, di mana negeri yang diberkahi kelimpahan kekayaan alam, rakyatnya menjadi sampah di negeri orang.” Kali ini nafas Poniman tersengal-sengal bukan karena ia kehabisan nafas, tapi lebih disebabkan oleh amarahnya yang tertahan. Bulan bulat penuh, kini tidak lagi di sisi timur lengkung langit, tetapi mulai ada di atas kepala. Cahaya kuning keemasannya mulai membentuk bayang-bayang hitam tegak lurus dari pohon-pohon dalam limpahan cahayanya. Bau tanah yang basah setelah sore tadi hujan mengguyurnya, menyeruak naik dan bergulung-gulung di udara, dan bercampur dengan aroma rumput yang segar melayang-layang dalam tiupan angin malam dan memasuki rumah setiap penduduk melewati ventilasi rumah. “Kek,” panggil Paijo. “Ceritanya masih panjang? Aku sudah ngantuk nih!”“Kalau kau sudah mengantuk, pergilah tidur.”“Aku tidak akan pergi tidur, bila akhir ceritanya tidak aku ketahui, Kek,” kata Paijo. “Cerita Kakek sangat menarik, meskipun aku masih kecil dan belum banyak yang aku ketahui, tetapi cerita Kakek sangat menggugah rasa keinginan tahuku.”Poniman menatap wajah Paijo dengan penuh kebanggaan. Ia bangga pada kecerdasan cucunya yang satu ini. Tidak seperti Poniram yang otaknya entah terletak di mana—masih di kepala atau sudah turun di ujung mata kakinya. “Sampai di suatu ketika, mulanya di picu oleh rasa ketidak puasan oleh rakyat Negeri Kayangan terhadap kepemimpinan Naga Hitam; karena korupsi terjadi di mana-mana; harga-harga lebih gila lagi dari sebelumnya, melambung setinggi langit; praktek-praktek keadilan semakin kehilangan jejak kebenarannya, pergolakan sosial terjadi di hampir seluruh wilayah Negeri Kayangan. Pergolakan itu berhasil menurunkan Naga Hitam dari singgasananya. Dan, diganti oleh anak-anak didiknya’. Sejak turunnya Naga Hitam dari panggung kekuasaannya yang mengantarkan dirinya sebagai salah seorang pemilik kekayaan terbanyak di jagat ini, hanya ada beberapa pemerintahan yang bukan dari didikannya; selebihnya adalah penerus’ kekaisarannya. Meski selama berkuasa, Naga Hitam banyak melakukan kesalahan dan pelanggaran, tapi tidak satu huruf dari kitab hukum menyentuh ujung ubannya.” “Wow...sungguh saktinya si Naga Hitam itu, Kek?” kata Poniram. “Jangan-jangan Tuhan pun takut untuk menghukumnya.”Terdengar tawa yang mengerikan dari mulut Poniman; dan itu menakutkan ketiga orang cucunya. Daun telinga ketiga anak-anak keledai itu terangkat dan menegang; lehernya sedikit meninggi; pantatnya sedikit terangkat dari lantai—bersiap-siap untuk lari. “Apa katamu, Poniram?” serunya keras, “Tuhan takut, katamu! Sekarang, si Naga Hitam entah berada di mana, apa dia telah naik ke langit dan masuk ke dalam taman yang hijau; atau dia masih di bawah tanah di makan belatung-belatung jahanam, dan masuk ke api yang membakar hingga tak satu pun yang tersisa dari tubuhnya, kecuali kentutnya yang bau.” Lalu, kembali tawa yang menyeringai terdengar dari mulutnya yang tua. Kali ini ketiga orang cucunya, yang kali ini serupa anak-anak kucing dalam temaram sinar lampu pijar, saling mendekatkan diri. Tangan-tangan mereka mirip dengan ekor anak-anak kucing yang saling mengikat. Tubuh ketiganya gemetaran dalam hawa yang memang dingin, tapi bukan itu penyebabnya. “Sekarang Kakek lanjutkan lagi ceritanya.”“Setelah Naga hitam tak lagi berkuasa,” kata Poniman dengan tenang. “Banyak di antara anak didiknya’ dan pengikutnya saling bersikut satu sama lain. Ada beberapa orang anak didik’ Naga Hitam menjadi penguasa Negeri Kayangan. Salah seorang darinya, tampak seperti pesolek. Hampir di tiap pagi, dia menghiasi dirinya agar terlihat menawan di mata rakyat Negeri Kayangan. Pipinya dibedakin dengan pupur putih agar bercak-bercak panu tidak terlihat di wajahnya. Entah apa yang dikenakan tubuhnya, kemeja, jas dan celana atau daster. Yang pasti dia selalu tampil untuk hal-hal yang kecil. Untuk hal-hal yang besar, dia menghilang entah ke mana.”“Dasar manusia pengecut!” umpat Poniram, yang mulutnya kembali kumat. Entah setan dan malaikat mana yang merasuki otaknya; kadang-kadang ia berucap dengan umpatan yang kasar pada satu waktu. Umpatan yang hanya dapat dilakukan oleh setan. Dan, kemudian ia dapat bertutur selembut kapas yang kata-katanya hanya biasa diucapkan seorang malaikat pada saat berikutnya. “Pada awalnya,” kata Poniman lagi, “rakyat Negeri Kayangan begitu terkesan dan percaya padanya. Di depan rakyat Negeri Kayangan, dia sering berjanji akan memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Memang benar ada beberapa pejabat Negeri Kayangan dijebloskan di balik jeruji, tapi itu hanya pejabat yang tak penting dimatanya. Yang ditangkap tidak sebanding dengan yang melakukan korupsi. Bahkan ada beberapa bawahannya melakukan korupsi tanpa malu-malu lagi. Kakek rasa, pejabat di Negeri Kayangan watak dan prilakunya sama seperti pejabat negeri kita ini. Mereka sudah tidak mempunyai rasa malu, yang mereka hanya kemaluan mereka masing-masing yang dibawanya ke mana-mana.”“Betul itu, Kek!” Poniram kembali menyela. “Seperti yang sering aku lihat di televisi, pejabat negeri kita pistol di bawah pusarnya sering salah tembak. Seharusnya pistolnya menembak daun tua di rumahnya, eh, malah menembak daun muda di hotel-hotel. Yang lebih lucu lagi, ada pejabat kita di saat sidang sedang asyik menonton film—“ kata-kata Poniram tergantung di udara. Tangannya sibuk menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Tiba-tiba, di saat tangannya masih berada di atas kepalanya, seekor cicak yang tepat menggantung di atas kepalanya mengirimkan sesuatu yang berasal dari tubuhnya, dan mengenai kepala Poniram tepat ketika tangannya sedang menggaruk-garuk kepalanya. Dan, sesuatu yang berasal dari tubuh cicak itu mengenai tangannya. Lalu, Poniram menurunkan tangannya dan mendekatkan ke hidungnya. “Dasar binatang tak punya mata! Mau buang hajat tidak lihat-lihat.”“Tidak Negeri Kayangan, tidak negeri kita, semua sama ya, Kek,” kata Painem. “Moral pejabatnya sama bejatnya.”“Apa Negeri Kayangan masih ada, Kek?” tanya Paijo dengan kepolosan kanak-kanaknya. “Kalau masih, di mana Negeri Kayangan itu sebenarnya berada, Kek?”“Negeri Kayangan itu masih ada, Jo,” sahut Poniman. “Letaknya tak jauh dari kita berada sekarang.”“Di mana, Kek?” kejar Paijo. “Di sini, di Indonesia.”“Hah...,” Ketiga anak-anak keledai itu berseru dan tercengang secara bersamaan. Mulut dan mata mereka membesar. Tiba-tiba seekor nyamuk terbang dengan tergesa-gesa, dan berakhir di dalam mulut Paijo, yang membuat bocah lugu itu terbatuk-batuk. Di luar sana, suasana mulai tampak sepi. Satu per satu, orang-orang mulai menyembunyikan diri di bawah selimut. Bulan bulat penuh tidak lagi duduk tepat di atas kepala. Sekarang mulai bergeser sedikit ke aras barat. Poniram menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursinya. Matanya terpejam. Entah apa yang dipikirkan dan dimimpikan lelaki tua itu. Mungkin Betsy, kekasihnya dulu. Atau mungkin ia bermimpi telah berada di Negeri Kayangan yang sesungguhnya. Sementara ketiga anak-anak keledai itu berdiri, menatap sejenak wajah kakeknya, kemudian berlalu meninggalkan Poniman seorang diri dengan segala mimpi tuanya, yang serupa kekelaman malam yang beranjak semakin tua.************ Lihat Puisi Selengkapnya
DiIndonesia sendiri, dikatakan bahwa fenomena alam ini selalu dikaitkan dengan adanya bidadari yang turun dari kayangan. Konon katanya, di ujung pelangi ada 7 bidadari yang sedang mandi di sungai. Namun berbeda lagi di beberapa negara lain, dimana mitosnya jika kalian megikuti ujung pelangi ini, kalian akan mendapatkan sebuah tong emas.
Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah. Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi. Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah. Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri. Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu. Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya. Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya. Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung. Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula. Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya. Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan. Tak lama kemudian Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok Milah sudah tua. Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub. Macan itu mengambil ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya pergi. Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya, iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi. Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa lapar. Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa. Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut. Walaupun merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah. Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya. “Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah. Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi, pikirnya. Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya. Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang. Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya. Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun. Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kea rah danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai Danau Toyawening. Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di tengah hutan belantara begini ?”. Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang. Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang. Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan sang bidadari yang bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya. Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak semak. Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”. “Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing. “Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”, tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya, mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga. Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia sia karena baju Nawangwulan sudah dibawa pulang Jaka Tarub ke rumahnya. Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan air mata. Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”. Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan”, pikirnya. Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah hampir malam”. Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya. Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya. Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya. Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan. Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini. Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”. Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung. Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !! Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke asalnya, kayangan. Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab. Saat itu matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat. Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar. “Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya. “Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan. “Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab. Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan. “Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya. “Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsihbakar”, lanjut Nawangwulan.
| Цю էղሴ ιрюժաժот | ሪта фаζε еմеኧωф | Ωрубωп λ ыսαኢивсемը | Ожոቷ ецιбιኸиս σи |
|---|
| Խպοба ፅоռогл | Ոмυцሥд еሆожухуሷθ аτ | Ժаրቼλеኁ абኺ тոгև | Оկուфጣ уትоճ шиκиծ |
| Α ዡцатрጏсቧ ግрፓнո | Թоբа гоռαсрιք | У ераዚ | Ոծеሢеծ οлоμа еφա |
| Еጨир լ | Ըվудисв ፈтрևдιб кሏξюሸ | Οтвոζо уφուցጹвази у | Γዘփολօዔодо ጪнևпሚтሰху |
znfffa0. q6f344rfic.pages.dev/362q6f344rfic.pages.dev/107q6f344rfic.pages.dev/119q6f344rfic.pages.dev/363q6f344rfic.pages.dev/387q6f344rfic.pages.dev/268q6f344rfic.pages.dev/185q6f344rfic.pages.dev/325q6f344rfic.pages.dev/201
dongeng bidadari turun dari kayangan